Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Sabtu, 08 Desember 2007

Kolaborasi

Kolaborasi

“…Seperti halnya 1 + 1 = 2, itulah suamiku…”



Oleh : Dyah Pratitasari

Saat masih duduk di bangku sekolah, (dan tampaknya berlaku sampai saat ini) aku bukan orang yang menyukai bidang eksakta. Matematika, fisika, kimia, biologi adalah pelajaran sekolah yang tidak terlalu membuatku bersemangat. Kalaupun ada yang membuatku suka, itu karena teman-teman sering memintaku untuk menggambar bakteri, virus, bagan rantai makanan, tanaman dan aneka ilustrasi yang ditugaskan oleh guru kami. Seringkali, saat pelajaran fisika atau kimia sedang berlangsung aku malah asyik menulis esay atau menggambar wajah guruku yang sedang mengajar di depan kelas. Bukan karena tak menghormati mereka, tapi aku memang tak mau memaksakan minatku dalam menghadapi pelajaran-pelajaran itu. Lain halnya dengan pelajaran bahasa, ekonomi, sosiologi, dan teman-temannya, aku antusias sekali. Ya, rasanya aku memang lebih tertarik pada bidang sosial dan humaniora daripada eksakta. Saat penjurusan SMA, di saat teman-teman lain berjuang supaya bisa masuk IPA, aku justru merayu papaku untuk menghadap Kepala Sekolah. Tujuannya, biar bisa dipindah ke IPS.

Melihat keadaanku saat itu, almarhum mamaku pernah bercanda, “Kalau begitu besok-besok kamu harus cari suami yang tipe eksakta, agar anakmu ada yang mengajari PR matematika-nya”. Tentu saja saat itu ucapan beliau hanya kusambut dengan tawa. Tapi semenjak aku duduk di bangku kuliah, ucapan almarhum mama tiba-tiba saja jadi sering terngiang-ngiang di telinga. Kalau kupikir-pikir… benar juga ya! Aku belajar di fakultas sastra. Kalau suamiku juga orang sastra yang sama sepertiku-membenci matematika, dengan siapa anakku kelak akan mengerjakan PR fisikanya ??? Ketika kelak menjadi orangtua, aku ingin seperti orangtuaku yang biasa menemani anak-anaknya dalam belajar. Alasan itulah yang akhirnya membuatku menyusun kriteria dalam mencari pacar. “Pintar eksakta” menduduki peringkat pertama (tentu saja seiman dan taat beragama menjadi peringkat segala-galanya).

Syukurlah, Tuhan mengabulkan doaku. Irwan, suamiku bisa dibilang ahli dalam kelompok bidang yang satu itu. Bahkan, mungkin karena sayangnya padaku, Tuhan tak hanya memberi suami yang pintar eksakta. Tapi juga “eksakta” karakter dan tingkah lakunya! Hahahaha…

Seperti halnya 1 + 1 = 2, itulah suamiku. Apa yang dikatakannya benar-benar sama dengan apa yang ada dalam isi hatinya. Kalau tidak suka, ya bilang tidak suka. Ia tidak akan bilang “kurang suka” hanya demi kepentingan memperhalus bahasa. Sebaliknya, ia tak akan bilang jelek kalau memang yang dilihatnya dianggap bagus. Sangat jujur, memang. Tapi ada kalanya “kejujurannya” ini membuatku kesal. Bagaimana tidak, gara-gara sikap eksaknya itu kami jadi sering bertengkar hanya gara-gara hal sepele. Kalau aku bilang sesuatu, katakanlah itu A, maka ia menelan bulat-bulat ucapanku itu. Padahal maksudku, yang namanya A bisa saja berubah menjadi A+ atau A-, tergantung situasi dan kondisi yang berlaku.

Sebaliknya, ia juga menganggapku aneh, nyeleneh, bahkan sok “seniman”. Sempat pula menjulukiku “Si - Tergantung”. Maksudnya, kalau ditanya jam berapa aku akan pergi, aku biasanya menjawab: “tergantung” bagaimana situasi nanti. Kalau ia tanya nanti malam aku masak apa, aku akan jawab: “tergantung” nanti tukang sayur yang lewat depan rumah bawa apa saja. Kalau ia tanya apakah aku jadi membelikan mainan baru untuk Vel, maka kujawab: “tergantung” nanti ada keperluan lain yang lebih urgent atau tidak. Menurutku sih, sifatku itu tidak aneh. Aku mengistilahkannya dengan “fleksibel”. Nyaman saja rasanya, jika mengerjakan sesuatu tanpa harus dibatasi atau terburu-buru. Lagipula, seketat apapun rencana yang kita buat, toh kita tetap harus siap dengan resiko yang terburuk. Yah, apapun namanya, kami memang tetap dua insan yang berbeda minat dan kepribadian.

Pertengkaran-pertengkaran kecil yang disebabkan karena perbedaan mewarnai pernikahan kami, sampai suatu hari suamiku membeli kamera DSLR.

“Wow… sejak kapan Mas suka memotret?”, tanyaku sambil mengagumi lensa barunya, yang sekilas mirip sebuah bazooka. Selain suka sekali difoto, sebenarnya sejak dulu aku ingin sekali belajar tentang fotografi, tapi sarana dan kesempatannya belum memungkinkan.

Suamiku tersenyum. “Ini hobi baru, aku belajar dari Chris, temanku”. Wow… ternyata diam-diam ia belajar fotografi. Pantas saja aku pernah menemukan file-file petunjuk praktis fotografi dan foto-foto dengan aneka tema di komputer kami. Hobi barunya itu kusambut dengan suka cita. Apalagi, ia bersedia membantuku belajar. Hari Sabtu dan Minggu menjadi hari istimewa bagi kami. Pagi-pagi, kami bangun dan hunting objek foto bersama. Matahari terbit, tetes air, mobil lewat, penjual bakso, dan tentu saja aktivitas Vel, menjadi santapan kami. 

Sayangnya, masalah belum berakhir sampai di sini. Lagi-lagi, masalahku di bangku sekolah seolah terulang kembali. Exposure, komposisi, ISO, shutter speed, aneka istilah dan hitungan teknis dalam dunia fotografi membuatku gerah. Kok aku nggak paham-paham juga sih… kalaupun paham, butuh ekstra niat dan usaha. hehehe.. Padahal, aku paling jago mengambil foto jika ditinjau dari penilaian angle dan tema. Banyak orang bilang, foto-fotoku sangat berkarakter dan bisa bercerita. Sayang, exposure dan ISO-nya kurang tepat sehingga gambarnya tampak terlalu terang, atau terlalu gelap. Untuk yang satu itu, terkadang suamiku harus menyempurnakannya lagi dengan sedikit bantuan teknik fotografi, sebelum foto-fotoku ku-upload dalam blog. Sebaliknya, suamiku jago mengukur ketepatan pemakaian lensa, exposure, ISO, dan tetek bengek berbau hitungan teknis lainnya. Namun, objek fotonya terlalu kaku dan kurang bernyawa.

Suatu hari usai hunting foto, kami sama-sama melihat hasil foto di komputer. Kami saling mencela hasil foto satu sama lain.

“Cela-celaan terus, kenapa kita nggak kerja sama saja sih?”, celetukku.

“Gimana kalau Mas jadi fotografernya, dan aku pengarah gaya?”, ucapku jahil. 

Matanya langsung berbinar. Tak kusangka, ia merespon dengan luar biasa.

“Wah, ide bagus, tuh! Kita kolaborasikan saja kemampuan kita berdua. Tugasmu : merancang konsep dan membuat objek foto jadi menarik. Masalah teknisnya, serahkan saja padaku!”, ujarnya sambil menepuk dada. 

Benar juga, kenapa aku tak pernah terpikir untuk mengolaborasikan kemampuan kami berdua, ya? Selama ini kami malah terlalu sibuk menyoroti kekurangan masing-masing yang tak ada habisnya.

Tekad kami saat itu langsung kami coba keesokan harinya. 

Hasilnya, foto-foto yang kami hasilkan sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun mungkin belum sebaik karya fotografer profesional lainnya, namun aku berani menjamin bahwa foto kami "istimewa". 

Ya, istimewa karena dikerjakan oleh dua orang “ahli” yang berkolaborasi menyatukan kekuatannya masing-masing.



Lebih dari itu, perpaduan unsur teknik dan seni dalam fotografi seperti mengajarkan sebuah filosofi pada kami berdua. Tak ada satupun manusia yang sempurna. Tuhan menciptakan manusia dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ketika menikah, perbedaan yang ada dalam setiap pasangan ternyata menjadi jauh lebih indah jika dijembatani dengan saling mengisi. Bukankah sebuah taman bunga pun akan tampak lebih indah jika ditanami dengan bunga yang berwarna-warni?

(dimuat di majalah PARENTING Indonesia, Februari 2007)
foto, dokumentasi pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar