Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Jumat, 04 Januari 2013

Apa Salah Si Kodok?


Tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor. Seorang anak berusia sekitar setahun berjalan tertatih-tatih sambil tertawa. Selangkah, dua langkah, sepertinya ia gembira dengan kemampuan barunya, hingga langkah kakinya pun diayun lebih cepat, lebih cepat… dan tiba-tiba, …Buk!


Ia tersandung kakinya sendiri, terjatuh, dan menangis.

Sang Ibu, yang berjalan di belakangnya bergerak sigap, memeluknya, sambil membujuk agar ia berhenti berteriak dan mengucurkan air mata.

”Cup..cup.. duh, kodoknya nakal ya, Dek! Mama tendang, ya… Tuh, rasain, rasain!” begitu ucap Sang Ibu, sambil kakinya berulangkali dihentakkan ke tanah, solah menghukum si kodok yang dianggap bersalah.



Saya menelan ludah.
Getir.

Pemandangan barusan seperti mencubit saya dari lamunan. Membawa ingatan kembali berkelana ke masa sekian tahun yang lalu, ketika saya baru saja menjadi ibu.

Saya juga pernah begitu.

Ketika Vel terjatuh, yang saya kambinghitamkan pertama kali adalah “si kodok”. Yang penting anak berhenti menangis, selesai perkara. Padahal,  kalau diingat lagi, Vel jatuh karena ia jatuh ketika lantainya masih basah. Jadi, besar kemungkinan ia terpeleset karena licin. Atau, Vel memang jatuh sendiri, sebagai bagian  dari proses belajar berjalan atau berlari. Ia terjatuh hanya karena ia belum optimal mengordinasikan langkah kakinya sendiri.

Hingga suatu hari, saya menonton sebuah tayangan di televisi. Tentang gajah yang diburu secara masal karena dianggap merusak ladang. Belakangan, banyak pihak menyadari, gajah yang memasuki area perkampungan dan memakan hasil ladang adalah perbuatan dari penduduknya sendiri, yang senang membakar hutan sembarangan. Akibatnya, gajah kehilangan sumber penghidupan, dan terpaksa keluar hutan untuk mencari makan. Kalau sudah begini, apakah gajahnya yang salah?

Tentu saja tidak. Dan solusinya, sampai kapanpun tidak akan bisa ditemukan, jika akar masalahnya tidak dilacak terlebih dahulu.

Sejak saat itu, saya belajar.

Menyalahkan “si kodok” saat anak terjatuh bukanlah pilihan. Bagaimanapun, jatuh adalah proses agar kita tahu bahwa ada sesuatu yang "salah" saat kita berjalan. Jadi, jatuh adalah hal biasa. Dan yang perlu dilakukan, agar tidak terus-terusan jatuh, adalah mencari tahu penyebabnya.

”Kok bisa jatuh ya? Lantainya licinkah? Jalannya ngebutkah?”

Tangis Vel saat terjatuh memang tidak langsung terhenti. Ia juga tidak tertawa, karena  ‘si kodok yang nakal” penyebab ia jatuh sudah tak ada dalam cerita.

Namun ada perasaan yang sulit dilukiskan keindahannya, ketika Vel bisa menyadari kekurangannya dengan berkata, “Aku tadi ngebut…”, dan jemari kecilnya menggamit lembut tangan saya, minta dituntun, sebagai cara untuk lebih berhati-hati.

Vel, juga saya, sama –sama belajar, bahwa ketika terjatuh, yang perlu dilakukan bukanlah mencari kambing hitam dan pembenaran. Karena sesungguhnya, ketika jari telunjuk sedang diarahkan ke luar sana, di saat yang sama, ada empat jari lain yang mengarah pada diri sendiri. 

~05/09/2011~

foto, dipinjam dari www.wordans.com.au