Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Selasa, 27 Agustus 2013

[7 wonders] Sehari di Merapi




Sowan ke rumah Mbah Maridjan, mendengar dongeng tentang Labuhan, 
dan belajar tentang kehidupan.


http://www.indonesia.travel/id/destination/461/gunung-merapi-menikmati-keindahan-alam-yang-tertidur/article/181/upacara-adat-labuhan-merapi
“Dulunya ini kampung"
"Di sana pernah ada rumah megah"
"Di sini setiap tahun wisatawan dari berbagai daerah berdatangan ikut Labuhan"
… dan di depan kita berdiri saat inilah, jasad Mbah Maridjan, Sang Pemimpin Upacara Labuhan Merapi itu ditemukan”

Pasca letusan Gunung Merapi pada bulan November 2010 lalu, delapan dusun di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang dulu terkenal hijau nan sejuk, luluh lantak. Sawah, hutan, dan kebun musnah tergerus material vulkanik. Rumah dan bangunan rata dengan tanah. Perekonomian lumpuh total.

Berdasarkan data yang dihimpun Pusdalops Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB), pada tanggal 18 November 2010 lalu, korban tewas di daerah itu berjumlah 199 orang, dan 170 di antaranya meninggal karena terkena awan panas. Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang namanya berkibar sebagai bintang iklan minuman berenergi, ikut menjadi korban. Ia ditemukan meninggal dunia di rumahnya sendiri.

Dua bulan setelah kejadian, Merapi tenang kembali. Status bahaya Merapi diturunkan, dan ratusan orang mulai datang berbondong-bondong ke lokasi. “Mereka ingin tahu rumah Mbah Maridjan, mengenal lebih jauh tentang Merapi dan mendengar cerita bagaimana letusan Merapi merenggut semua yang kami miliki. Dari situlah muncul ide menjadikan lokasi ini sebagai kawasan wisata bencana yang diberi nama Lava Tour Merapi,” kata Adi (32 tahun), pengemudi jeep, yang menemani perjalanan saya kali ini.

Menuju lokasi

Perjalanan saya dimulai dari Kota Yogyakarta, empat belas bulan setelah erupsi terjadi. Menelusuri jalan Kaliurang ke arah utara, suasana “lain” mulai terasa saat mobil yang saya kendarai memasuki kawasan Cangkringan. Beberapa rumah dan penginapan yang berada di kiri jalan tampak kosong ditinggalkan penghuninya. Pepohonan tinggi masih berdiri, namun pucuk-pucuk dahannya sudah tidak ada. Seiring dengan jalanan yang menanjak, jejak-jejak sisa awan panas tergambar semakin jelas. 


loket retribusi memasuki kawasan Merapi (dok.pri)
Di pintu tiket retribusi, saya berhenti. Pengunjung wajib membayar karcis seharga Rp5000 per orang. Mobil dikenai tarif Rp5000, dan sepeda motor Rp2000. Semua kendaraan harus diparkir di area yang sudah disediakan. 

Berbeda dari objek wisata lain yang memiliki batas area, Lava Tour tidak demikian. Wilayah lereng Merapi yang bisa dikunjungi sangat luas, mencakup dusun-dusun yang berada di sekitar bantaran sungai Kali Gendol, Kali Kuning, dan Kali Opak seperti Ngrangkah, Pangkurejo, Kopeng, Jambu, Kali Adem, Petung, dan sekitarnya. Untuk menjangkau lokasi tersebut, kita punya banyak pilihan. Bisa jalan kaki, naik ojek, menyewa motor trail, atau jeep. Agar dapat menjangkau semua kawasan yang terkena dampak letusan, saya memilih kendaraan yang terakhir. 

Perjalanan dimulai dari wilayah Kaliadem terlebih dahulu. Di kanan kiri, tanaman sudah mulai bersemi. Rumput-rumput mulai tumbuh. Saya juga beberapa kali menjumpai kolam air tawar yang terbuat dari ceruk tanah dialasi terpal. Menurut Adi, kolam darurat itu digunakan warga untuk beternak ikan lele, mas, dan mujair.


kolam buatan mereka (dok.pri)


Dulu, ini kampung yang padat pemukiman penduduk (dok.pri)
Velma, anak saya, menyusuri pasir dan batu-batu sisa erupsi (dok.pri)


Sisanya adalah jejak-jejak bencana. Sulit sekali menemukan bangunan yang utuh. Semuanya rusak, bahkan hancur menyisakan puing-puing dan lahan kosong. Beberapa kali jeep yang kami tumpangi harus merangkak di jalanan yang terputus, kemudian merangkak di aspal yang tinggal separuh. 

Menurut Adi, dusun yang tadi kami lewati adalah desa wisata. “Pada hari Sabtu dan Minggu banyak wisatawan berkunjung. Ada yang datang bersama keluarga, banyak juga yang datang berombongan bersama teman-teman. Mereka biasanya datang untuk piknik, berkemah, atau sekadar duduk-duduk.”
Sekarang, semuanya sudah tidak ada. Semua warga tinggal di pengungsian. Pohon pinus terbakar habis. Sungai-sungai menjadi dangkal tertimbun material vulkanik. Saking dangkalnya, jeep yang saya tumpangi bisa turun dan melintas ke dasar Kali Gendol. Di sana, ada pasir yang mengeluarkan asap. Ada juga batu yang masih terasa hangat. Aroma belerang pun tercium dengan kuat. 


“Kalau mau ke rumah Mbah Maridjan, sebaiknya cepat-cepat karena sebentar lagi hujan,” Adi mengingatkan. Kediaman Mbah Maridjan berada di Dusun Kinahrejo, berbeda dengan kawasan yang sedang kami susuri. Sebelum Merapi meletus, dusun yang satu ini sudah populer bagi kalangan pendaki karena merupakan salah satu jalur pendakian. Sebelum naik gunung, mereka singgah di rumah Mbah Maridjan untuk mengisi buku tamu, menulis jumlah pendaki, serta menuliskan rencana pendakian terlebih dahulu.

Jalanan menuju rumah Mbah Maridjan menanjak cukup tinggi, dengan jurang yang menganga di salah satu sisi. Pengelola Lava Tour menetapkan kebijakan, tempat yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari area parkir itu hanya boleh dicapai dengan berjalan kaki, menumpang ojek, atau menyewa motor trail yang boleh kita kemudikan sendiri. Usai mengembalikan jeep di area parkir, saya berpisah dengan Adi dan menyewa trail untuk melanjutkan perjalanan. 


Bertamu ke rumah Mbah Maridjan


spanduk yang menyambut kehadiran kami (dok.pri)
“Di tempat ini pernah hidup seorang abdi, seorang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Mas Panewu Surakso Hargo yang terlahir dengan nama Maridjan. Seluruh hidupnya diabdikan sebagai abdi dalem penjaga gunung (surakso hargo) yang mempunyai kewajiban menjaga kelestarian alam dan ayem tentrem, nyaman tenteramnya kawasan Merapi.”

Demikian tulisan spanduk yang terbentang di depan “rumah” Mbah Maridjan. Ia merupakan juru kunci Merapi yang bertahan di rumahnya saat awan panas menerjang. Kematiannya menjadi tragedi, dan semakin memopulerkan sosoknya yang tak pernah mau mengungsi setiap kali Merapi meletus. 

Rumah Mbah Maridjan sudah tidak berbekas. Hanya ada sebuah tanah kosong yang dikelilingi tali. Di atasnya, dibangun rumah-rumahan kecil berukuran sekitar 1x2 meter, yang berfungsi sebagai penanda lokasi ditemukannya jenazah Sang Juru Kunci.


bekas kediaman Mbah Maridjan menjadi lokasi favorit untuk berpose (dok.pri)
Persis di sebelah sebidang tanah itu, kerangka sepeda motor dan mobil bekas terpanggang awan panas dibiarkan teronggok rapi. Sebuah baliho cetakan digital terpampang di sana, menguraikan kronologi erupsi 26 Oktober 2010 yang menewaskan Mbah Maridjan dan 34 orang lainnya, termasuk sukarelawan dan wartawan yang sedianya akan menjemputnya untuk mengungsi. 


nama Mbah Maridjan, daya tarik tersendiri (dok.pri)
 
Sementara itu, persis di depan rumahnya, warung makan dan kios cendera mata yang menjual kaos, mug, foto-foto, dan pernak-pernik diserbu pelancong. Kebanyakan cendera mata itu menggunakan Mbah Maridjan dan Merapi sebagai ikon. 


saya, bersama Mbah Ponirah (dok.pri)
 
Mbah Ponirah (78 tahun), istri mendiang Mbah Maridjan, bersama Asih (45 tahun), anaknya, yang mengelola warung itu. Selain menyediakan makanan kecil dan minuman hangat, mereka juga menerima titipan dagangan warga Kinahrejo dan pedagang dari luar. Di warungnya, Mbah Ponirah dengan telaten meladeni pertanyaan para pengunjung. Mereka umumnya ingin tahu tentang keseharian mendiang Mbah Maridjan, kronologi letusan dahsyat itu terjadi, hingga cerita mitologi Gunung Merapi.

Dongeng Labuhan Merapi 

Tiyang Jawi rumiyin punika percados, sakderengipun wonten manungsa, bhumi boten jejeg kados sakniki (Orang Jawa dulu percaya bahwa sebelum kehidupan manusia, bumi ini tidak stabil seperti sekarang),” Mbah Ponirah mulai bercerita.

Supaya tidak terus bergoyang-goyang, Batara Guru memerintahkan para dewa untuk menempatkan sebuah pasak. Pasak itu berupa gunung, bernama Gunung Jamurdipa. Sebelum memindahkan Gunung Jamurdipa, para dewa pergi ke arah Merapi. Mereka menghimbau agar para penduduk pergi. Sayangnya, ada dua orang penduduk Merapi yang enggan mengungsi, namanya Empu Rama dan Empu permadi. Mereka menolak karena keris yang sedang dibuat belum jadi. Penolakan itu membuat dewa-dewa marah. Mereka berperang. Empu-empu itu memenangkan pertarungan. 

Menanggapi kekalahan para dewa, Batara Guru mengambil jalan pintas. Ia lantas memerintahkan Batara Bayu, Sang Dewa Angin, meniup Gunung Jamurdipa hingga mendarat ke Merapi. Sejak saat itu, Gunung Jamurdipa dikenal dengan nama Gunung Merapi. 

Asal usul Gunung Merapi versi kartun, ada di sini:




Dalam buku Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Kepercayaannya, karya Lucas Sasongko Triyoga, yang pernah saya baca, roh dari kedua Empu tadi dipercaya menjadi raja dari para makhluk halus penunggu Merapi. Nama-nama tokoh penghuni Keraton Merapi biasanya dikenal melalui doa-doa selamatan. Di antara mereka adalah Nyai Gadung Melati, Kartadimeja, Eyang Sapu Jagad, dan Kyai Petruk.

Nyai Gadung Melati, merupakan sosok wanita yang digambarkan selalu mengenakan pakaian berwarna hijau ala daun melati. Konon, ia bertugas memelihara kehijauan kawasan Merapi. Sementara Kartadimeja, bertugas memelihara ternak sekaligus komandan pasukan. Ia merupakan tokoh yang sangat dicintai oleh masyarakat karena kemunculannya sering ditandai sebagai peringatan bahwa  Merapi akan memuntahkan perut. Kemudian Eyang Sapu Jagad, dipercaya tinggal di bawah kawah. Tugasnya antara lain mengatur kondisi alam di sekitar Merapi. Sedangkan Kyai Petruk, merupakan salah satu prajurit yang setia mengabarkan pada penduduk apabila Merapi akan meletus, termasuk memberi petunjuk bagaimana menyelamatkan diri.

Sebagai penghormatan terhadap mereka, masyarakat sekitar Merapi menyelenggarakan prosesi upacara selamatan bernama Labuhan. Labuhan berasal dari kata “labuh”, yang artinya persembahan. Upacara yang diperingati setiap tanggal 30 Rajab ini diadakan di Dusun Kinahrejo, tempat Mbah Maridjan tinggal. “Mbah Kakung juga yang memimpin selametan,” tutur Mbah Ponirah, menyebut Mbah Maridjan dengan nama kesayangan.

Kenangan saat Mbah Maridjan memimpin prosesi, bisa dilihat dalam video ini:




Selain Labuhan, upacara lain yang sering dilakukan adalah Sedekah Gunung, Becekan, dan Banjir Lahar. Sedekah Gunung merupakan ungkapan terimakasih atas hasil panen yang melimpah. Sementara Becekan, adalah prosesi memperbaiki aliran sungai dan perairan. Sedangkan Banjir Lahar, merupakan upacara pelatakan kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati lahar. Biasanya, upacara yang satu ini dilakukan apabila muncul tanda-tanda Merapi akan meletus. Percaya tidak percaya, penduduk yang bermukim di sekitar sungai mengaku mendengar suara gemerincing di malam hari. Bebunyian yang dipercaya sebagai lewatnya kereta kencana itu, ditafsirkan sebagai peringatan dini bahwa banjir lahar akan terjadi. Setiap kali bunyi tersebut terdengar, penduduk akan mulai mengungsi.

Selain memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa, dalam setiap upacara, penduduk biasanya menyajikan sesajen berupa hewan kurban, juga hasil panen seperti sayur mayur dan palawija. Saya memahaminya sebagai simbol, bahwa ada makhluk lain yang diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Sekaligus alarm agar manusia selalu menjaga keseimbangan alam.

Kenang-kenangan

Sebelum meninggalkan Merapi, saya menyempatkan diri untuk jajan.  Di sekitar area parkir terdapat kios-kios yang dikelola warga. Mereka menjual akar wangi, madu hutan, jadah tempe, keripik jamur, dan masih banyak lagi. Beberapa warung juga menyediakan minuman hangat khas lereng Merapi seperti wedang jahe, wedang ronde, dan wedang gedhang (pisang). 

Wedang jahe ala Merapi umumnya dibuat secara tradisional, berasal dari jahe merah yang dipanggang terlebih dahulu, kemudian direbus dan ditambah gula. Namun ada juga hasil seduhan jahe instan hasil olahan industri rumahan. Nah, wedang ronde merupakan wedang jahe yang sudah mengalami modifikasi dengan diberi irisan kolang-kaling, taburan kacang tanah, dan bola-bola ketan berisi gula merah. 

Sedangkan wedang gedhang terbuat dari irisan pisang kepok atau raja, air panas, dan gula batu. Konon, ia ditemukan secara tidak sengaja oleh para pendaki gunung yang iseng-iseng mencampur air gula dengan pisang. Rasanya benar-benar enak! 

Keluar masuk ke warung yang berbeda, saya merasakan keramahan yang sama. Ungkapan syukur yang sama. Senyum yang sama. Ketulusan yang sama. Wajah-wajah yang tabah mengalir bersama hidup, meski bencana merampas habis harta bendanya dalam sekejap.

Mungkin benar, Nietzche bilang, “Orang-orang yang sanggup bertahan dari situasi hidup dan mati, apabila mampu bangkit, ia akan lebih kuat dari sebelumnya.” 

Perjalanan saya kali ini memang tidak melulu disuguhi pemandangan indah, namun mampu membuat saya belajar banyak.(dp)


Referensi:
Wawancara, 2012
Lucas Sasongko Triyoga,  Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Kepercayaannya, Gadjah Mada University Press, 1991

Foto:
Dokumentasi pribadi - Dyah Pratitasari