Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Senin, 30 September 2013

Menabung Sehat Sejak Dini





Tebarlah benih yang baik. Rawat dengan kebiasaan baik. 
Agar kamu, juga keturunanmu, bisa memanen hasil yang baik-baik - (anonim)

www.seedsofchangefoods.com


“Terima nasib aja deh kalo suatu waktu gue harus kena hipertensi. Bapak Ibu gue juga begitu. Udah keturunan!”, begitu tutur seorang kawan, suatu hari. 

Menurutnya, gangguan metabolisme serta penyakit degeneratif seperti obesitas, kolesterol tinggi, hipertensi, juga diabetes, jantung koroner, stroke, serta kanker,  merupakan bagian dari nasib. Jadi kalau orangtua kita kebetulan mengidap gangguan-gangguan tadi, ya tinggal terima takdir. Mau bagaimana lagi? Wong sudah dari sononya. Keturunan.


Setelah perbincangan itu, benak saya dipenuhi pertanyaan. 

Apakah betul, semua itu terjadi karena kebetulan?
Masa sih, nggak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya?
Atau setidaknya, memperkecil peluang terjadinya risiko terhadap gangguan-gangguan tadi?

Selama bertahun-tahun, pertanyaan demi pertanyaan itu menjadi teka-teki. Seperti gelembung sabun, mereka menyembul satu persatu dari kepala… Lalu melayang-layang di udara.

Kita mewariskan kebiasaan

Hingga pada suatu hari, saya berdiskusi dengan kolega, seorang konsultan nutrisi yang juga mendalami filsafat manusia. Menurutnya, “Sifat genetik orangtua memang menurun pada anak-anaknya. Namun dalam kasus penyakit, yang berlaku tidak seperti rumus matematika 1 + 1 = 2. Artinya, kita memang mewarisi potensi suatu penyakit dari orangtua. Namun yang perlu diingat, itu baru potensi. Benar-benar terjadi atau enggaknya penyakit tadi, sangat bergantung pada kebiasaan kita sehari-hari.”


Sekarang coba kita pikir bareng, deh. Darimana anak mengenal jenis makanan pada awal masa hidupnya?


Siapa yang merestui dan menyediakan menu di meja makan kita setiap hari?


Apa yang biasa kita lakukan untuk merayakan saat-saat istimewa bersama keluarga? Makan, bukan?


Lalu siapa yang menanamkan rasa cinta anak terhadap makanan?


…dan, siapa yang sadar ataupun tidak, telah membentuk pola makan tertentu hingga suatu saat gangguan metabolisme atau penyakit degeneratif itu muncul?


Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya tertegun. Jawabannya satu: KELUARGA.


“Dengan menurunkan kebiasaan dan pola makan yang sama salahnya, sangatlah mungkin kerusakan yang sama pun terjadi pada organ yang sama, dari keturunan yang sama. Ya, sesederhana itu,” lanjut kolega saya tadi.


Plup!


Satu gelembung sabun saya seolah terpecahkan. Akhirnya, pertanyaan itu terjawab juga. Ternyata gangguan kesehatan dan penyakit itu tidak terjadi secara kebetulan. Saya dan keluarga berkesempatan memperkecil peluang risiko (bahkan mencegahnya!) dengan berusaha melakukan kebiasaan-kebiasaan baik. 

Setiap hari. Sedini mungkin.

Sejak saat itu, kami membulatkan tekad. Mengajak anak-anak hidup lebih sehat, dengan memulainya dari diri sendiri.

Ini beberapa resep sehat dalam keluarga kami:

dokumentasi pribadi
Mengupayakan hidup yang lebih selaras alam

John Herring, penulis Your Best Health Under the Sun, mengatakan, DNA manusia modern dan jaman batu masih 99,99 persen sama. Artinya, pola makan dan gaya hidup kita juga idealnya tidak jauh berbeda. Gaya hidup sesuai ritme alam kami mulai dari hal yang sederhana. Seperti berusaha tidur di malam hari, bangun di pagi hari, menyempatkan diri mandi sinar mentari pagi, sambil berjalan tanpa alas kaki. 

Soal pola makan, prinsipnya sih kami mengonsumsi makanan yang diolah dengan cara sesederhana mungkin, menggunakan bahan-bahan yang sealami mungkin. Semakin sederhana proses pengolahannya, semakin segar kondisinya, niscaya kandungan enzim, vitamin, serta mineral dalam bahan makanan lebih optimal.

Gizi seimbang 

Pedomannya, menyesuaikan asupan nutrisi sehari-hari sesuai kebutuhan. Kebutuhan nutrisi sehari-hari seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air putih kami upayakan berasal dari bahan makanan yang bervariasi. 

Caranya, dengan menggilir menu, jenis, dan warna. Kalau hari ini sudah makan ikan dan terong ungu, besoknya makan steak tempe bersama wortel jagung dan buncis. Lusa, bisa mengeksplorasi resep ayam dengan sayuran berwarna hijau tua. Di rumah, kami juga saling mengingatkan agar cukup minum air putih. Karena kebutuhan saya, suami, dan anak-anak berbeda-beda, standar cukupnya adalah, “Minum air putih sampai warna pipisnya jernih”.

Memperhatikan cara pengolahan

Masih soal makanan, ada tradisi hidup sehat yang saya warisi dari mendiang Mama. Yaitu, memperhatikan proses pengolahan. Mulai dari mencuci tangan dan bahan makanan dengan baik dan benar, menggunakan peralatan memasak yang bersih, hingga teknik memasak yang efektif dalam mempertahankan kualitas bahan makanan. Saya menghindari merebus dan mengukus sayuran terlalu lama. Supaya sayuran tetap renyah dan “manis”, masukkan sayur saat air sudah mendidih. Bisa juga diblansir, lalu siram sayuran dengan air es untuk menghentikan proses pemanasan. 

Khusus untuk menggoreng, saya memilih minyak goreng yang berkualitas. Caranya juga perlu diperhatikan, yakni memanaskan minyak menggunakan suhu rendah atau sedang, dan tidak menggunakan minyak lebih dari dua kali. Menurut salah satu referensi yang pernah saya baca, suhu tinggi bisa mengurai rantai kimia pada minyak. Imbasnya,  zat gizi yang terkandung dalam minyak jadi rusak. Minyak yang digunakan berkali-kali juga berdampak tidak baik bagi kesehatan. 

Makan dengan sadar

Kami meyakini, bahwa beradaptasi dengan lingkungan juga merupakan bagian dari hidup selaras alam. Sebagai manusia yang hidup di perkotaan dengan ritme serba cepat, serta merangkap peran ibu rumah tangga sambil bekerja, sesekali saya dan suami mengijinkan diri untuk makan di restoran cepat saji. Pas kepingin masak tapi sudah kecapean, sesekali saya juga menggoreng nugget kemasan. 

Bagi kami, hidup sehat itu bukan tentang anti-antian. Melainkan, hidup secara berkesadaran. Berkesadaran, artinya memiliki visi, tujuan, serta mampu memilih berdasarkan pemahaman. Saat makan dengan sadar, misalnya, biasanya kita lebih mampu mengenali tanda-tanda “cukup”. Jadinya, tidak akan makan secara berlebihan. Saat makan dengan sadar, biasanya kita juga mampu membedakan mana makanan yang dibutuhkan oleh tubuh, dan mana yang sekadar lidah ini doyan. 

Saat makan dengan sadar, biasanya kita juga lebih jeli menyiasati, agar makanan “nakal” yang sedang dikonsumsi jadi lebih sehat. Misalnya, daripada menjadikan kentang goreng dan saus botolan untuk teman nugget goreng, saya biasanya membuat dipping sauce dari alpukat segar yang dicampur perasan jeruk nipis dan cincangan tomat. Kentang gorengnya, diganti kentang panggang yang dioles minyak dan diberi taburan mix herbs. Selain cita rasanya jadi lebih nendang, dengan cara ini saya bisa memperoleh dua keuntungan sekaligus: lebih sehatnya dapet, hemat tenaganya dapet juga. 

...

"Memangnya dengan begitu kamu sudah pasti terhindar dari penyakit-penyakit tadi?", tanya seorang kawan.

Saya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang pasti dalam dunia ini. Bagi saya, belajar merawat kesehatan merupakan bagian dari bersyukur. Yang penting saya sudah berusaha. Apapun "hasil"-nya nanti, saya percaya, sudah berusaha akan selalu lebih baik, daripada tidak melakukannya sama sekali.

Semoga, langkah kecil ini menjadi investasi sehat, yang bisa kami wariskan pula manfaatnya untuk anak-anak :)