Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Selasa, 10 Juni 2014

Dari Lampion ke Stoples



Sepotong cerita tentang Hari Raya



www.foto-lingkarberita.com

Lebaran tahun lalu, saya baru saja sembuh dari sakit. Tabungan terkuras habis. Anggaran mudik pun terpakai untuk melunasi tagihan rawat inap dan obat-obatan. Hari raya tahun ini, kami sekeluarga memutuskan untuk menunda pulang ke kampung halaman.


Velma, anak saya, sempat kecewa berat. “Aku kan sudah kangen Mbak Nafi, Mbak Farah, sama Mas Jordan. Aku juga kepingin ikut takbir keliling sambil bawa lampion,” ungkapnya, dengan mata berkaca-kaca. 


Mendengar keluhan Velma, hati ini merana. Sebenarnya, saya juga ingin mudik… Terlebih, meriahnya suasana Idul Fitri di Jogja sudah menari-nari di pelupuk mata. Pada hari-hari terakhir Ramadhan, biasanya keluarga besar kami betah menghuni dapur seharian. Duduk lesehan, membuat kue, menyiapkan masakan, sambil mengobrol dan bercengkerama. Pada malam takbiran, kami semua pergi ke masjid di dekat rumah. Di sana, seluruh warga kampung berkumpul untuk melakukan takbir keliling.  Tua, muda, anak-anak, berbaur menjadi satu. Bersilaturahmi dan menyuarakan takbir, diiringi irama bedug bertalu-talu.




“Mama janji. Meskipun nggak mudik ke Jogja, lebaran kita akan tetap istimewa”, saya membisikkan sebuah ide ke telinga Velma. Ia menyimak penuh perhatian, lalu mengedipkan sebelah mata dengan senyum kemenangan. 


Berlebaran di Jakarta


Hari itu juga, proyek resmi dimulai. 


Kami pergi ke pasar, membeli dua kotak cornflakes, gula castor, mentega, susu bubuk, beberapa butir telur, serta beberapa bahan. Sampai di rumah, Velma langsung menggelar tikar. Kami duduk lesehan, bersama-sama menimbang bahan dan menyampur adonan. 

kue buatan kami :)
 

Tak sampai dua jam, kue-kue buatan kami sudah jadi.  Velma menyebutnya dengan nama Cornflakes Cookies with Cheese, dan Cokelat Cornflakes Hujan Pelangi. Kue-kue itu kami susun ke dalam stoples-stoples kecil. Stoples-stoples kue itu kami hias menjadi bingkisan berpita-pita.



Mengunjungi manusia gerobak


Ramadhan berakhir, takbir mulai berkumandang. Mobil kami melaju pelan, menyusuri kawasan Jakarta Selatan. Malam itu, kami mengunjungi para manusia gerobak di pinggir-pinggir jalan. Stoples demi stoples kue cornflakes buatan kami pun berpindah tangan. Mereka menerimanya dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang. 


Senyuman mereka, ekspresi bahagia dan syukur mereka, sungguh mengena di hati. 


Seolah-olah mengajak kami untuk lebih banyak bersyukur.


Seolah-olah mengajak kami untuk belajar lagi tentang makna bahagia.


Ternyata benar adanya, bahwa sesungguhnya bahagia itu tanpa kriteria. Bahagia itu pilihan. Ketika kita memilih untuk berbahagia, saat itulah bahagia hadir dengan sendirinya.




Tanpa sadar, air mata saya menitik. Terlebih, Velma pun sepertinya memperoleh pelajaran baru tentang hari raya. 

“Lebaran tahun depan aku nggak beli lampion juga nggak apa-apa kok, Ma. Kita bikin kue lagi aja, terus dibagi-bagi lagi seperti ini. Beli cornflakes sama stoples yang banyak ya, Ma! Kita bagi-bagi lebih banyak lagi!”, begitu katanya.**